Oleh: DodiSanjaya,Kreator konten bergiat di Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam)
Menjelang masa tugasnya berakhir, DPR justru ngebut membahas RUU Penyiaran yang mengundang kontroversi karena sejumlah pasalnya mengancam kebebebasan berekspresi. Salah satu isu penting yang menjadi kontroversi adalah perluasan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selain mengawasi penyiaran konvensional akan diberi kewenangan mengawasi platform berbasis teknologi UGC, yang bisa berimplikasi buruk pada puluhan ribu Youtuber dan Tiktoker di Indonesia.
User Generated Content (UGC) adalah semua jenis konten berbentuk video, gambar, teks yang dibuat oleh pengguna platform online dan dibagikan di platform tersebut.
Indonesia menduduki peringkat keempat negara pengguna terbanyak platform Youtube di dunia, dengan jumlah pengguna sekitar 139 juta orang. Data Youtube Desember 2022 menyebutkan, lebih dari 600 ribu kreator telah menerima pendapatan dari platform mereka. Sementara, pada 2024 jumlah pengguna Tiktok 113 juta orang, sekitar 50 juta di antaranya merupakan kreator konten.
Nilai ekonomi yang dihasilkan para Kreator konten ini tidak kecil. Penyedia platform influencer marketing, Famous Allstars memproyeksikan nilai pasar industri Kreator konten di Indonesia mencapai Rp 4 triliun hingga Rp 7 triliun, dengan perkiraan peningkatan lima kali lipat pada tahun 2027.
Karena itu kebijakan semestinya mendukung berkembangnya iklim kompetitif untuk melahirkan konten yang berkualitas, tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik, dan mendukung tumbuhnya ruang publik yang demokratis. Pengaturan dan pengawasan yang bersifat represif, apalagi sensor harus ditentang.
Perlukah Diawasi?
Kita sepakat bahwa konten platform UGC perlu diawasi, tidak bebas sebebas-bebasnya, supaya tidak melanggar hak orang lain dan keamanan publik. Dalam hal ini, platform UGC memiliki pedoman komunitas yang mengatur perilaku penggunanya. Konten yang tidak dizinkan oleh platform UGC adalah konten yang mengandung unsur seksual, kebencian, kekerasan, pelecehan, cyberbullying, spam, pelanggaran hak cipta, ancaman dan pelanggaran privasi.
Penegakan pedoman komunitas yang tidak konsisten merupakan salah satu problem UGC. Ada konten yang melanggar pedoman komunitas dikenai sanksi, namun ada konten yang dibiarkan tanpa tindakan. Ini terlihat dengan masih banyaknya konten yang berbahaya, ujaran kebencian, serta berbagai kasus pelecehan, ancaman, atau intimidasi yang beredar di platform UGC. Di sinilah perlunya peran negara, untuk memastikan penyelenggara platform menegakkan ketentuan yang telah disepakati.
Kebijakan pengawasan oleh negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat pirinsipil, bersandar pada nilai-nilai HAM, serta tidak menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang yang berbeda pandangan. Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak dasar yang harus dijaga dan dihormati dalam masyarakat yang demokratis.
Ancaman terhadap konten kreator
Dalam draft RUU Penyiaran disebutkan KPI berperan dalam menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan terhadap isi siaran, baik di platform konvensional maupun digital. Lembaga ini juga memiliki kewenangan memberikan tanda lulus kelayakan isi siaran, bahkan melakukan evaluasi isi siaran secara berkala sesuai dengan tujuan penyiaran. Kewenangan ini bisa ditafsirkan sebagai sensor.
Kreator konten dalam memproduksi konten harus patuh pada pedoman perilaku penyiaran yang sesuai dengan Standar Isi Siaran (SIS). Terlihat jelas bahwa konten kreator diperlakukan seolah-olah sama dengan lembaga penyiaran konvensional seperti televisi dan radio.
Dengan wewenang sebagai pengawas informasi penyiaran di ranah konvensional dan platform UGC, KPI menjadi lembaga pengawasan informasi yang sangat “super power.” Kuatnya wewenang yang dimiliki KPI harus diwaspadai karena berisiko mengancam kebebasan berekspresi.
Pengawasan yang diberlakukan tidak memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dapat merugikan individu atau kelompok tertentu. Apalagi jika pengawasan dilakukan tidak dengan proporsionalitas dan digunakan sebagai alat untuk menekan kebebasan berekspresi, tujuan politik, komersial tertentu.
KPI Cukup Mengawasi Penyiaran Konvensional
Revisi RUU Penyiaran tidak perlu menambah wewenang KPI mengawasi ranah digital. Perluasan wewenang hanya akan menambah beban kerja. Apalagi KPI selama ini dianggap memiliki kinerja buruk oleh organisasi masyarakat sipil. Lembaga pengawas ini dianggap gagal mengawasi siaran televisi karena sistem pemberian sanksi yang dianggap normatif dan tebang pilih. Selain itu, kewenangan baru KPI akan menambah permasalahan tumpang tindih wewenang antarlembaga dan mengancam kebebasan berekspresi. Pengaturan RUU ini tumpang tindih karena saat ini regulasi terkait platform berbasis UGC merujuk pada UU ITE. Selain itu, Permenkominfo Nomor 5/2020 Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat telah mengatur konten yang didistribusikan atau ditransmisikan melalui platform berbasis UGC.
Dengan demikian, pengawasan penyiaran digital biarlah dilakukan oleh lembaga negara lainnya, seperti aparat penegak hukum dan Kominfo, atau lembaga independen di luar KPI. Dalam negara demokrasi tidak boleh ada lembaga negara yang memiliki wewenang “super power.” Pembagian wewenang antarlembaga negara merupakan prinsip penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Salah satu risiko utama dari lembaga negara yang menjadi “super power” adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Jadi KPI cukup mengawasi ranah konvensional saja, untuk pengawasan penyiaran di platform berbasis UGC sudah ada dalam pengaturan di undang-undang lain.
Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Journal National Network