RADAR24.CO.ID, Lampung — Dinamika politik menjelang pendaftaran Calon Wali Kota Metro 2024 di KPU kian mengerucut. Ahmad Mufti Salim yang diisukan bakal maju sebagai Calon Wakil Wali Kota Metro mendampingi Wahdi Siradjuddin, menuai reaksi pedas dari sejumlah tokoh dan masyarakat.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Radar24, diketahui pada Pilkada Kota Metro 2020 silam, Ahmad Mufti Salim yang kala itu maju sebagai Calon Wali Kota Metro dan berpasangan dengan Saleh Chandra, kerap tampil mengenakan pakaian adat Jawa, yakni surjan dan blangkon secara aktif untuk menarik simpati publik, sehingga diduga dan disebut-sebut telah melakukan politik identitas di tengah masyarakat majemuk di Bumi Sai Wawai. Tak ayal, hal itu membuat sejumlah tokoh dan masyarakat menolak Mufti pada Pilkada Kota Metro 2024 mendatang.

Tokoh adat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego dari Marga (Buay) Nuban, Akhmad Husein menyikapi rumor yang beredar, terkait kemungkinan terulangnya praktik politik identitas dalam Pilkada Kota Metro yang akan berlangsung pada November 2024 mendatang.

Pria berusia 66 tahun yang bergelar Suttan Pengiran Rajo Kepalo Migo itu menyebut, praktik politik identitas tidak pantas dilakukan di Kota Metro, yang notabenenya terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

“Masyarakat di Kota Metro ini bisa dikatakan seperti Indonesia mini, antara warga pendatang dan pribumi membaur saling hormat-menghormati, menerima berbagai macam suku, saling menghargai dan menghormati. Maka, Kalau boleh saya berpendapat untuk dunia politik yang memakai politik identitas itu, tidak usahlah dipakai,” kata Akhmad Husein saat dikonfirmasi Radar24 di kediamannya, Kamis, 22/8/2024.

“Yang netral lah. Jadi, tidak ada ketersinggungan dan kecemburuan sosial. Jangan malah memecah persatuan dan kesatuan masyarakat yang majemuk, khususnya di Kota Metro ini,” lanjutnya.

Keturunan langsung dari Batin Kepala Mega, Gelar Pangeran Raja Tihang, Pesirah Marga Buay Nuban yang menghibahkan wilayahnya sebagai cikal bakal Kota Metro, untuk didiami kolonis ini mengaku prihatin dengan praktik politik identitas.

Berdasarkan data demografi Provinsi Lampung, diketahui sebanyak 62 persen penduduk Lampung terdiri dari suku Jawa, dan 45 persen terdiri dari suku Lampung. Mata pilih bersuku Jawa kerap menjadi sasaran target politik identitas.

Akhmad Husein berharap, setiap calon pemimpin di Kota Metro bisa mengayomi masyarakat tanpa tebang pilih. Bukan malah berusaha menarik simpati mata pilih dengan cara apapun, termasuk melakukan politik identitas.

“Menggunakan pakaian adat itu baik, tapi jika dilakukan di dalam pemilihan calon kepala daerah, ini menurut saya kurang tepat,” cetusnya.

“Apalagi penggunaan penggunaan jargon semisal pilih wong e dewe. Nah terus kalau bukan etnis dia, atau bukan orangnya dia, bukan wong e dewe gimana? Kalau mau maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah itu, kan harus mengayomi semuanya, bukan hanya sebatas wong e dewe,” timpalnya.

Menilik komposisi demografi, Kota Metro memiliki jumlah mata pilih bersuku Jawa yang lebih besar dibanding suku lain. Secara histori, penduduk Kota Metro adalah kolonis yang didatangkan dari Jawa Tengah pada 1936.

Komposisi demografi mata pilih yang demikian, seolah-oleh diyakini dan mengundang beberapa politikus menggunakan cara instan untuk menarik simpati warga Kota Metro. Bahkan menungganginya demi mendulang suara.

Terpisah, sejumlah warga merasa khawatir, jika pola sosialisasi yang sama bakal kembali digunakan oleh Mufti Salim dalam berkampanye. Hal itu diperkirakan berpotensi menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.

“Terus terang kalau Mufti Salim kembali masuk di Pilkada Metro tahun ini, saya dengan berat hati menolak. Dia itu kan yang dulu pernah pakai politik identitas di Pilkada 2020 lalu kan? Itu bikin kesal. Pokoknya tolak politik identitas,” cetus AB(36), warga Yosorejo, Metro Timur.

“Dia berpenampilan dengan mengenakan pakaian seperti itu, seolah-olah enggak menghargai budaya lain. Kita ini di Lampung, maka hargailah kearifan lokal. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan mentang-mentang di Metro ini banyak orang Jawa, lalu dia mau melakukan politisasi,” timpalnya kesal.

Hal senada disampaikan WD(37), warga Kelurahan Hadimulyo Barat, Kecamatan Metro Pusat yang mengaku masih ingat betul dengan pilihan branding politik yang dilakukan oleh Mufti pada Pilkada 2020.

“Waktu itu, dia bersosialisasi dengan berkeliling Kota Metro pakai blangkon dan baju adat Jawa. Lalu di posternya juga, ya begitu gaya berpakaian yang ditampilkan. Jadi, saya rasa enggak perlu lagi lah menggunakan politik yang seperti itu untuk dapat suara,” celetuknya.

“Lagi pula, Mufti itu bukan warga Kota Metro. Apa enggak lebih baik kalau putra daerah saja yang maju? Yang asli Kota Metro yang mengerti kondisi masyarakat untuk memimpin kota ini, yang benar-benar tahu dan mau mengayomi semua unsur, tidak hanya untuk orang Jawa saja,” tambahnya.

Dikutip dari berbagai sumber, diketahui pernah ada pegiat sejarah dan budaya Lampung, Arman AZ, yang menyoal politisasi idiom budaya untuk memperoleh simpati mata pilih pada pilkada.

Arman AZ bahkan menanggapi sinis, terkait perilaku tak elok semisal itu, yang justru dianggap berpotensi menimbulkan pembelahan di tengah masyarakat.

“Mereka pikir masyarakat mudah kepincut dengan kostum berbau etnis? Itu sikap yang minim wawasan. Calon-calon pemimpin yang seperti itu, tanpa mereka sadari mereka telah membelah masyarakat di tempatnya,” terang Arman.

“Yang terpenting adalah, mereka itu harusnya justru bisa menampilkan komitmen dan upaya konkret terhadap pelestarian budaya lokal, bukan malah sebaliknya. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” tandasnya.

Pewarta : Kiki.